Moh. Iqbal Alam Islami (Mahasiswa Ilmu Politik Pascasarjana UI)

Partisipasi Politik Perempuan dan Sistem Kuota Gender

BEKASI - Keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia memiliki jalan panjang. Sebagai pemilih pemilu, perempuan sudah dilibatkan sejak pertama kali pemilu dilaksankan yaitu pada tahun 1955.

Jika dilihat dari tahun ke tahun pemilu, jumlah pemilih perempuan selalu lebih banyak dari jumlah pemilih laki-laki. Data KPU per Desemeber 2018 menunjukkan pada Pemilu 2019 jumlah pemilih 192.826.529 dengan pemilih perempuan 96.557.044 (50,1%), sedang pemilih laki-laki 96.271.476 (49,9%).

Begitu juga dengan pemilu pada tahun 2014, jumlah pemilih 186.612.255 dengan pemilih perempuan 93.439.610 (50,1%), dan pemilih laki-laki 93.172.645 (49,9%). Daftar pemilih selalu menunjukkan jumlah perempuan lebih banyak dari pemilih laki-laki. Namun ini tidak sebanding dengan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

Kuota 30 persen keterwakilan perempuan merupakan tindakan affirmative action, yaitu langkah sementara untuk mencapai persamaan kesempatan laki-laki dan perempuan. Langkah ini diterapkan karena adanya kondisi pada kelompok perempuan yang mengalami ketidaksetaraan dengan memberikan perlakuan khusus agar kesetaraan tersebut bisa dicapai.

Kuota perempuan diperlukan agar terjadi keseimbangan, dan untuk mencapai angka strategis dan represntasi yang dianggap signifikan adalah bila partisipasi perempuan mencapai angka persentase 30 persen.

Partisipasi perempuan dalam partai politik telah merubah dan menghilangkan prasangka, stereotype, kebiasaan, dan segala praktek lainnya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas pada salah satu jenis kelamin. Perempuan yang semula mendapat stereotype lemah, pasif, tidak bisa memimpin dan cukup bekerja di ruang domestik perlahan stereotipe ini mulai dikikis. Angka keterwakilan perempuan di parlemen juga mematahkan stigma bahwa perempuan dan politik bukan hal yang terpisah.

Hambatan Partisipasi Politik Perempuan,

Hadirnya perempuan di parlemen merupakan perubahan yang dikehendaki (intended change) dan perubahan yang direncanakan (planned change), karena banyak upaya dan strategi yang diupayakan agar perubahan terjadi sesuai yang dicita-citakan, yaitu perempuan dapat memberikan suara dan mengambil keputusan yang mewakili kebutuhan perempuan. Namun angka yang diperoleh masih kurang dari angka yang diharapkan. Pada pemilu 2019, keterwakilan perempuan belum mencapai angka 30 persen diparlemen, hanya sekitar 20,5%, 118 orang dari 575 jumlah keseluruhan anggota DPR RI.

Faktor penyebab sulitnya perempuan mencapai angka 30 persen di parlemen yakni, pertama, keterbatasan perempuan dalam hal keahlian, pengetahuan, dan proses politik serta sumber dana untuk mengelola suatu kampanye politik. Walaupun kuota telah digunakan, tapi tanpa sistem pemilu yang mendukung maka peningkatan representasi perempuan sulit dicapai; kedua, UU tentang kuota gender juga bisa menghasilkan situasi dimana perempuan yang terpilih hanya untuk kepentingan statistik dan tidak mempunyai kekuasaan politik yang signifikan dan hanya dijadikan “boneka” oleh kekuatan politik tertentu

Dengan segala kelebihan dan kekurangnnya, tindakan affirmative action melalui dorongan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen menjadi capaian perjalanan politik bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Semula yang hanya ditargetkan sebagai pemilih, saat ini sudah menjadi peserta pemilu melalui calon legislatif baik pada tingkat daerah maupun tingkat pusat. Perolehan kursi perempuan di perlemen juga megalami peningkatan meski perubahan dirasakan lambat namun telah membawa dampak dan pengaruh di masyarakat diantaranya adalah pengarusutamaan gender yang mulai diterapkan pada semua sektor, institusi dan kebijakan pembangunan.

Penulis: Moh. Iqbal Alam Islami

Previous Post Hore... Tahun Depan Honorer di Taput Jadi Peserta BPJS Ketenagakerjaan
Next PostPPKM Darurat, Penyekatan di Kota Bekasi Dijaga Ketat Petugas