
Seorang penderita gangguan jiwa yang selama ini terpasung terlepas dengan adanya program Rumah Sehat Jiwa. PALAPAPOS/Alpon Situmorang
Psikiater RSUD Tarutung: Jangan Panggil Mereka Gila
TAPANULI UTARA - "Orang gila, orang gila..", seruan itu sering disebutkan anak-anak kecil atau mungkin kadang-kadang orang dewasa, jika melihat ada orang yang menggelandang di jalanan. Mereka pun dijadikan bahan ejekan dan lucu-lucuan.
Kemungkinan besar, individu yang meneriaki itu tidak pernah berpikir, bahwa meski kelihatan tidak memahami apa-apa, orang yang disebut gila tersebut sebenarnya bisa merasakan sakit hati dibuat jadi bahan olokan.
Psikiater RSUD Tarutung sekaligus penanggung jawab pasien Rumah Singgah Sehat Jiwa Tapanuli Utara Elisabet Situmeang menuturkan, ia sedikit memberikan gambaran tentang ‘Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)’ yang lebih ‘biasa’ disebut orang gila itu juga masih bisa memikirkan, dan masih bisa merasakan sakit hati karena dihina.
"Apa yang mereka alami dan rasakan tentunya juga diluar keinginan dan harapan mereka. Sementara diluaran sana, banyak orang yang hanya bisa mencerca dan menghakimi (memang kurang berTuhan, memang na hurang roha, dan lainnya), tanpa mengetahui apa penyebab sebenarnya," katanya Kamis (21/11/2019).
Elisabeth mengatakan, terkait penyebab dari seseorang bisa menjadi ODGJ itu sebenarnya sangat banyak. Salah satunya, pada umumnya ODGJ adalah penderita Skizofrenia. Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan penderita Skizofrenia mencapai 1:5.000 penduduk.
Skizofrenia merupakan gangguan mental kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, pikiran kacau dan perubahan perilaku. Gangguan ini merupakan kelainan otak berat yang mengubah cara seseorang dalam berpikir, bertindak, mengungkapkan perasaan dan mengartikan sesuatu.
"Mungkin perihal gejala-gejala tersebut, sudah banyak dari kita yang pernah melihat dan mengetahuinya. Namun, acapkali kita hanya sekedar berpikir tentang gejala itu, tanpa pernah menyadari apa penyebabnya. Dalam pikiran kita ‘pokoknya orang itu gila, tidak bisa diajak bicara, menyeramkan’, yang selanjutnya akan ramai-ramai mengambil tindakan khusus, seperti mengurung atau memasung," urainya.
Selanjutnya, Elisabet sedikit membagikan penyebab dari gangguan Skizofrenia ada beberapa garis besar, antara lain ketidakseimbangan unsur-unsur di otak, perubahan bentuk struktur otak dan sistem saraf pusat, genetik dan kegagalan menghadapi stres.
Ia pun menuturkan, ada beberapa penyebab yang menyebabkan individu tersebut akhirnya berpikir tidak realistik, mengalami halusinasi (melihat, merasakan, mendengarkan, mencium) hal yang tidak ada atau tidak dapat dirasakan orang lain yang normal.
Jadi jika kita resapi hal tersebut, sambungnya, mungkin sedikit membuka pikiran kita bahwa mereka tidak serta merta merasakan kelainan itu tanpa penyebab, sehingga dengan penuh semangat kita mengatakan mereka ‘Gila’. Mereka juga manusia biasa, sama-sama ciptaan Tuhan yang tak mungkin salah.
Mereka menderita gangguan tersebut bukan atas keinginannya, tapi mayoritas karena Gangguan atau ketidaknormalan yang ada pada tubuh mereka.
Setelah mengetahui gejala dan penyebab, bagaimana cara mengatasinya, Elisabet menyebutkan, pasien Skizofrenia hampir semuanya tidak bisa hidup tanpa obat. Jika tidak diberikan penanganan dengan tepat, maka kemungkinan melakukan bunuh diri akan semakin meningkat.
Selain konsumsi obat dengan teratur, konseling psikiater, terapi spiritual, pasien dengan skizofrenia juga membutuhkan terapi lain, seperti terapi kerja. Terapi kerja ini bervariasi sesuai dengan kemampuan dan ketertarikan pasien.
Beberapa contoh terapi kerja yang bisa dilakukan, adalah bercocok tanam, memasak, menjahit, kerajinan tangan atau berbagai hal lain sesuai dengan minat dan kemampuan pasien.
Selaku orang yang berada di sekitar pasien, Elisabet mengatakan, juga memiliki peranan dalam membantu menangani pasien tersebut.
Cara yang dilakukan, yakni stop melabel mereka dengan kata “Orang Gila”, jangan mengucilkan ODS, perlakukan mereka dengan layak, pahamilah bahwa pasien ODS bisa sembuh dengan pengobatan teratur.
"Kita sebagai masyarakat Tapanuli Utara pantas untuk bersyukur karena pemerintah memberikan perhatian khusus untuk masyarakat yang mengalami Gangguan Jiwa, yang tentunya sangat mendukung program pemerintah pusat, yaitu ‘Indonesia Bebas Pasung," katanya.
Hal itu berawal dari usulan Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan dan disambut baik Rustam Simbolon yang saat itu menjabat sebagai Kepala UPT Puskesmas Pangaribuan, dan digagasilah pembukaan Rumah Singgah Sehat Jiwa, yang ditempatkan di Puskesmas Pangaribuan.
Selain itu, program sangat didukung Kadis Kesehatan terdahulu Janri Ayogie, yang kemudian untuk seterusnya dilanjutkan Alexander GP Gultom, SKM beserta tim pengelola program yang susah payah turun ke lapangan Risma Panjaitan beserta jajarannya.
Kegiatan yang dilakukan mulai dari penjaringan pasien di lapangan, kemudian mendekati keluarga pasien ODS. Jika pasien dipasung, terlebih dahulu akan dirawat dengan pemberian obat selama beberapa minggu. Setelah agak stabil, pasien selanjutnya dibawa ke Rumah Singgah Sehat Jiwa untuk dilakukan perawatan dan evaluasi intensif, urainya.
Kegiatan yang dilakukan selama perawatan di Rumah Singgah tersebut adalah mulai dari pengawasan pemberian obat, melatih perawatan diri (menjaga higienitas diri dan ruangan kamar), hingga ke tahap lebih lanjut.
"Kita lakukan terapi kerja (pembersihan lingkungan sekitar dan Kegiatan bercocok tanam). Yang mana semuannya ini dilakukan untuk melatih pasien bisa hidup mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dan tujuan akhir adalah bisa hidup produktif dan bergabung kembali di masyarakat," sebutnya.
Untuk tercapainya semua kegiatan di atas, jelas sekali karena adanya kerjasama dari teman-teman medis dan non medis di lapangan. Yang mana, merekalah yang dalam kesehariannya melihat dan menyaksikan perkembangan pasien-pasien tersebut, diantaranya Rosmita Simanjuntak, Linawaty Gultom, Yemima Sagala, Pina Sormin, Vera Sormin, Lusiana Sormin, V. Sitinjak dan Romual Pakpahan.
"Merekalah yang bekerja di lapangan, yang dengan sabar memperhatikan kemajuan dari pasien-pasien tersebut. Kami juga merencanakan terapi kerja lain untuk ke depannya, yang mana kemungkinan besar kami akan melibatkan lintas sektoral. Kiranya kita semua bisa bekerja sama untuk mencapai masyarakat Tapanuli Utara bebas pasung, masyarakat Tapanuli Utara Sehat Jiwa," pungkasnya. (als)