Perdagangan AS-China ‘Putus’, Peluang dan Ancaman: Siapa Untung dan Siapa Rugi
Perang Tarif antara Amerika dan China semakin tajam. Hanya dalam satu hari, atau hitungan jam, AS-China saling balas kenaikan tarif impor.
Posisi saat ini, tarif impor produk China ke AS dikenakan tarif 125 persen. Sebaliknya, produk AS ke China dikenakan tarif 84 persen. berlaku seketika.
Dengan tarif impor sebesar itu, dan tidak ada tanda-tanda kompromi, praktis hubungan dagang AS-China akan terputus. Kedua negara tidak mungkin bisa berdagang lagi, kemahalan. Seandainya pun ada pihak yang nekat impor, produk tersebut tidak akan laku. Konsumen akan mencari barang sejenis, barang substitusi, yang lebih murah.
Di lain sisi, Amerika menunda masa berlaku tarif impor resiprokal bagi semua negara lainnya selama 90 hari.
Pertanyaannya, apa konsekuensi dari terputusnya hubungan dagang AS-China tersebut bagi ekonomi dunia, bagi negara-negara lainnya, dan khususnya bagi Indonesia. Dan bagaimana Indonesia harus menyikapi atau mengantisipasi kondisi ini.
Nilai transaksi perdagangan AS-China mencapai sekitar 660 miliar dolar AS pada 2024: Amerika impor produk China sekitar 460 miliar dolar AS, sedangkan China impor produk AS sekitar 200 miliar dolar AS. Amerika mengalami defisit sekitar 260 miliar dolar AS, tahun lalu.
Putusnya hubungan dagang kedua negara tersebut pasti membawa konsekuensi besar terhadap tatanan ekonomi dunia. Pertanyaannya, negara mana yang akan diuntungkan, atau dirugikan?
Sebagai gambaran, total perdagangan sebesar 662 miliar dolar AS tersebut hampir setara dengan 50 persen PDB Indonesia. Atau sekitar 3,5 kali lipat APBN Indonesia. Sebuah jumlah yang sangat besar.
Putusnya hubungan dagang AS-China bagaikan pedang bermata dua bagi negara-negara lain. Sisi peluang dan sisi ancaman. Di satu sisi, akan ada negara diuntungkan, di lain sisi akan ada negara dirugikan.
Importir Amerika, seperti Walmart, akan mencari substitusi pemasok baru di negara lain. Importir China juga akan mencari pemasok baru pengganti produk Amerika. Total keseluruhan senilai 662 miliar dolar AS.
India Menang Besar
Untuk sementara ini, India mempunyai posisi cukup strategis untuk menggantikan produk China. Sebagai contoh, India sudah ekspor ke Walmart, peritel terbesar AS (dan dunia) dalam jumlah cukup besar.
Walmart Amerika impor dari India naik signifikan, dari sekitar 2 persen (2018) menjadi sekitar 25 persen (2023) dari total kebutuhannya. Impor dari India bervariasi dari produk mainan, elektronik, sepeda, farmasi, serealia (biji-bijian), dan lainnya.
Meskipun China masih menjadi pemasok terbesar Walmart saat ini, tetapi porsinya turun cukup signifikan, dari 80 persen (2018) menjadi 60 persen (2023).
Sebagai informasi, total penjualan Walmart Amerika sekitar 450 miliar dolar AS, tahun lalu.
Selain itu, India juga menjadi pemasok penting bagi Amazon, kompetitor Walmart. Amazon memperkirakan, impor dari India bisa mencapai 20 miliar dolar AS pada 2025. Dengan adanya disrupsi perang tarif AS-China, kemungkinan besar perkiraan ini akan terlampaui.
Vietnam Juga Bisa Untung Besar
Selain India, Vietnam juga mempunyai posisi cukup strategis di pasar Amerika. Total ekspor Vietnam ke Amerika sekitar 150 miliar dolar AS pada 2024. Sedangkan Indonesia hanya 38,3 miliar dolar AS. Impor barang elektronik seperti smartphone (iphone, samsung) sangat mungkin sekali beralih ke Vietnam (dan India).
Kalau skenario ini terjadi, tidak sulit bagi India dan Vietnam ‘menampung’ sebagian besar ekspor AS ke China yang ‘hanya’ 200 miliar dolar AS.
Indonesia: Waspada
Di lain sisi, setiap negara di dunia harus waspada mendapat pengalihan produk ‘tidak bertuan’ yang sedang mencari pasar baru, dari China sekitar 460 miliar dolar AS dan dari Amerika sekitar 200 miliar dolar AS.
Dalam hal ini, Indonesia bisa menjadi sasaran empuk, khususnya bagi produk China seperti consumer goods, karena Indonesia mempunyai pasar sangat besar, dengan nilai PDB lebih dari 1,3 triliun dolar AS.
Indonesia juga harus waspada dari kemungkinan terjadi dumping.
90 hari ke depan merupakan masa kritis, dapat menjadi penentu nasib masa depan kita, apakah akan menjadi pemenang atau pecundang.
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).