Nico: Korupsi Masih Merajalela UU Pemilu Perlu Direvisi
BEKASI – Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) Kota Bekasi, Nicodemus Godjang menyatakan, UU Pemilu perlu direvisi karena sampai saat ini praktik korupsi masih merajalela.
Hal ini dikatakan Nico setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Pakpak Bharat.
Menurutnya, sudah ada sekitar 37 kepala daerah kena OTT bahkan lebih, dan ratusan anggota DPR dan DPRD juga terjerat korupsi.
Fenomena itu menurut Nico sangat memilukan dan belum menjadi efek jera bagi para pejabat, bahkan seperti sudah menjadi budaya.
“Menurut saya sampai kapan pun, jika UU Pemilu tidak direvisi budaya korupsi ini akan terus menggurita. Padahal komisi antirasua begitu gencar melakukan OTT dan tidak ada kompromi dengan korupsi. Apakah semua pejabat negara itu mau ditangkap? Saya pikir tidak!. Salah satu dampak maraknya korupsi menurut saya karena sistem pemilu yang ‘higt cost’. Tingginya ‘cost’ politik atau biaya politik menjadi salah satu faktor utama maraknya korupsi,” kata Nico melalui kepada PALAPA POS.CO.ID, Senin (19/11/2018).
Memang kata Nico, dengan UU Pemilu, memang bukan satu-satunya faktor penyebab banyaknya kepala derah tersejar kasus korupsi. Namun setidaknya sistem pemilu perlu dilakukan revisi mengurangi biaya saat sosialisasi. Calon-calon pejabat harus mengeluarkan uang yang begitu besar untk menjadi seorang pejabat baik eksekutif maupun lagislatif, hal tersebut akan berdampak saat setelah terpilih.
“Ironis dan sulit dihindarkan. Tingginya biaya politik akhirnya memaksa pejabat ketika terpilih melakukan tindakan yang korup. Karena memang jika calon pejabat itu tidak memiliki finansial yang memadai sangat sulit untuk terpilih. Karena semua membutuhkan uang, mulai dari alat peraga, biaya konsolidasi, sosialisasi, dan biaya untuk hal itu tergolong besar. Jika tidak berani mengeluarkan biaya banyak sangat sulit bagi calon legislatif dan eksekutif untuk terpilih, dan jangan terlalu banyak berharap untuk terpilih,” ujar Nico.
Lanjut Nico menyarankan, DPR dan Presiden harus segera berpikir dan merevisi UU Pemilu.
“Jika tidak, jangan berharap bisa meminimalisir kejahatan korupsi. Bahkan bisa saya katakan sistem Pemilu saat ini ciptakan koruptor baru nantinya. Solusinya, sistem pemilu bagi kepala daerah baik provinsi dan kota/kabupaten harus kembali dengan sistem perwakilan rakyat seperti termaktub dalam Pancasila Sila ke-4,” saran Nico.
“Artinya, gubernur dan bupati/wali kota dipilih DPRD saja sebagai perwakilan rakyat. Legislatif/ DPRD yang tetap dipilih rakyat namun diwakili partai politiknya. Artinya, menggunakan sistem terutup. Parpol menyeleksi calon wakil rakyat berdasarkan nomor urut. Sehingga yang melaksanakan kampanye adalah parpol, bukan caleg. Sama seperti sistem orde baru. Namun saya tegaskan, saya bukan pendukung Orba. Tapi ada hal positif dari Orba yang harus diadopsi. Hanya Pilpres saja yang memungkinkan dilakukan secara terbuka dan dipilih langsung oleh rakyat,” sambung Nico.
Menurut Nico, dengan sistem pemilu legislatif dan pilgub serta pilkada dilakukan secara tertutup mungkin bisa meminimalisir korupsi. Rakyat tetap menjadi penentu, dilakukan secara perwakilan, yakni melalui parpol. Karena sejatinya parpol adalah perwakilan rakyat.
“Ingat, dengan sistem tertutup bukan kemunduran demokrasi. Namun kecerdasan berdemokrasi,” tegas Nico. (Olo)