Mantan Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro. PALAPA POS/Istimewa
JAKARTA - Mantan Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Eddy Sindoro terbukti bersalah menyuap Edy Nasution selaku panitera pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sebesar Rp 150 juta dan USD 50 ribu.
"Menyatakan terdakwa Eddy Sindoro telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata hakim ketua Hariono saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (6/3/2019).
Eddy Sindoro bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Uang tersebut diberikan agar Edy Nasution berkaitan dengan proses perkara di PN Jakarta Pusat. Uang itu dimaksud Edy Nasution menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana atau PT MTP dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited atau PT AAL meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan undang-undang.
Dalam istilah hukum, aanmaning merupakan peringatan berupa pemanggilan pada pihak tereksekusi untuk melaksanakan perkara persidangan serta hasil keputusannya secara sukarela. Untuk pengurusan pengajuan peninjauan kembali yang sudah kedaluwarsa itu Edy Nasution meminta Rp 500 juta. Permintaan Edy Nasution disetujui Eddy Sindoro.
"Ada pemberian kepada Edy Nasution selaku panitera atas persetujuan dan pengetahuan terdakwa. Unsur memberi atau menjanjikan sesuatu ada dalam diri terdakwa," kata hakim.
Hakim menyebut Eddy Sindoro memerintahkan anak buahnya Wresti Kristian Hesti Susetyowati mengupayakan pengajuan peninjauan kembali itu diterima Edy Nasution, meski pun waktu pendaftarannya sudah lewat. Wresti pun menemui Edy Nasution di PN Jakarta Pusat.
PT AAL kemudian menunjuk pengacara pada Law Firm Cakra & Co yaitu Emi Rosminingsih, Sulvana, Agustriady, dan Dian Anugerah Abunaim. Kantor pengacara itu menggantikan Law Firm Marx & Co yang sebelumnya menangani perkara tersebut.
Dian dan Agustriady menemui Edy Nasution dengan maksud meminta salinan asli putusan MA yang menyatakan PT AAL pailit. Mereka mengaku sebagai pengacara baru PT AAL sehingga belum menerima salinan putusan itu. Agustriady pun memberikan USD 50 ribu kepada Edy Nasution.
"Pemberian uang tersebut terkait perkara PT MTP dan PT AAL. Keterangan Wresti Kristian pemberian uang atas sepengetahuan dan perintah terdakwa," jelas hakim.
Saat AAL mengajukan peninjauan kembali yang kemudian dilanjutkan PN Jakarta Pusat dengan mengirimkannya ke MA. Setelahnya, Wresti menyiapkan Rp 50 juta untuk diberikan Edy Nasution melalui Doddy Aryanto Supeno.
Perbuatan itu kemudian terbongkar dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menjaring Edy Nasution dan Doddy. Saat itu Doddy baru memberikan Rp 50 juta kepada Edy Nasution. (ant)
Comments
Leave a Comment