Popong Tak Habis Pikir, Ada Sekolah Mengutamakan Gunakan Bahasa Asing Dibanding Bahasa Indonesia
JAKARTA - Ceu Popong terheran-heran saat menghadiri acara sekolah seorang cucunya, pasalnya seluruh acara menggunakan bahasa asing bukan menggunakan bahasa Indonesia. Mantan legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat itu tak habis pikir bagaimana bisa sekolah cucunya itu sama sekali tidak menggunakan bahasa negaranya sendiri. "Bukan karena saya tidak bisa bahasa Inggris, saya dulu sebelum jadi anggota DPR seorang guru bahasa Inggris. Saya hanya heran mengapa sekolahnya ada di Indonesia, tapi dalam acara itu sama sekali tidak menggunakan bahasa Indonesia," kata Ceu Popong yang memiliki nama lengkap Popong Otje Djundjunan itu. Sebagai orang Indonesia, kata Ceu Popong, seharusnya warganya bangga menggunakan bahasa sendiri. Bahasa Indonesia harus diutamakan dibanding bahasa asing lainnya. Namun bukan berarti anti terhadap bahasa asing. Pada 28 Oktober 2019, bahasa Indonesia tepat berusia 91 tahun. Bahasa Indonesia lahir bertepatan pada hari lahirnya Sumpah Pemuda. Saat itu para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kongres Pemuda II dan berikrar untuk bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia, berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda itu dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Kelahiran bahasa Indonesia juga tak lepas dari perbedaan pendapat Mohammad Tabrani dengan Mohammad Yamin saat Kongres Pemuda I pada 1926. Pada saat itu Mohammad Yamin "keukeuh" ingin menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi Tabrani tak sependapat, alasannya jika sudah mempunyai Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia maka bahasa yang dipakai seharusnya juga bahasa Indonesia. Dalam kolom "Kepentingan" pada harian Hindia Baru pada tanggal 10 Januari 1926, Tabrani memuat tulisan dengan judul "Kasihan". Tulisan itu muncul sebagai gagasan awal untuk menggunakan nama Bahasa Indonesia.
Berdaulat
Meski sudah berusia hampir satu abad, bukan berarti Bahasa Indonesia sudah berdaulat di negara ini. Para orang tua lebih bangga mengenalkan anaknya sejak dini dengan bahasa asing dibanding Bahasa Indonesia. Begitu juga ruang publik yang masih banyak didominasi kata-kata bahasa asing. Tidak sulit menemukan kata bahasa asing di Jakarta. Contohnya akses masuk di pusat perbelanjaan di ibu kota tertulis entrance atau exit untuk menunjuk akses keluar. Semua itu tanpa ada kata dari bahasa Indonesia. Pun begitu di sejumlah komplek menggunakan bahasa asing untuk meningkatkan nilai jual. Belum lagi tokoh publik yang terkadang menyelipkan bahasa asing, agar terdengar lebih keren. Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Prof Dadang Sunendar mengakui saat ini masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa bahasa Indonesia sekedar alat komunikasi. "Padahal bahasa Indonesia bukan sekedar alat komunikasi, namun juga simbol negara yang memiliki fungsi pemersatu negara," kata Dadang. Pandangan tersebut, kata Dadang, harus diluruskan karena bahasa Indonesia memiliki fungsi dalam mempersatukan bangsa. Ia mengakui saat ini penerapan Bahasa Indonesia di ruang publik masih mengalami tantangan. Penyebabnya karena masyarakat belum menyadari kehadiran bahasa negara di tengah masyarakat. "Oksigen bangsa ini adalah bahasa negara, jangan sampai Bahasa Indonesia di ruang publik hilang. Bahasa Indonesia berdaulat di negara sendiri," jelas Dadang. Dadang juga berpendapat bahwa belajar Bahasa Indonesia bukan sekedar mengetahui kaidahnya saja, melainkan perlu memahami secara historis mengapa harus menggunakan Bahasa Indonesia. "Kalau hanya untuk berkomunikasi saja, sudah selesai fungsi Bahasa Indonesia. Ada fungsi lain yakni pemersatu bangsa," ucap Dadang. (ant/red)