KPK Diminta Selidiki Dugaan Korupsi di Kementerian Pertanian
JAKARTA - Pengadaan barang/jasa masih menjadi gerbang utama lumbung korupsi. Meskipun Pemerintah membangun E-katalognya untuk mencegah korupsi, namun para pelaku masih menemukan celah berbuat curang.
Tim Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Starnas PK) belum lama ini meluncurkan aplikasi audit elektronik (e-elektronik), guna mengawasi kecurangan pengadaan barang/jasa pemerintah di situs katalog elektronik (E-katalog).
Niken Ariati, Koordinator Pelaksana Harian Starnas PK mengatakan ada 4 modus kecurangan dalam pengadaan berbasis E-katalog. Masih banyak celah kecurangan yang dimainkan oleh pelakunya. Padahal marketplace ini digadang-gadang dapat mencegah korupsi pada pengadaan barang/jasa pemerintah.
“Masih banyak celah kecurangan yang dimainkan pelakunya, biasanya dilakukan oleh PPK yang melakukan pembelian barang secara terus menerus,” ungkap Niken dalam keterangan tertulisnya, pada Jum'at (5/4/2024).
Menyikapi pernyataan Niken, Direktur Investigasi Mahakarya Adhiyaksa, Dicky M Adhiyaksa mengatakan, pengadaan e-katalog rentan korupsi. Bukan hanya PPK, namun pelakunya juga menggurita hingga petinggi Lembaga/Kementerian. Ia sepakat dengan pernyataan Koordinator Pelaksana Harian Starnas PK, Niken Ariati.
“Seharusnya, aplikasi e-katalog yang katanya terintegrasi dengan KPK, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian ini, memiliki pengawasan yang cukup ketat, sehingga pencegahan korupsinya bisa terpantau 24jam,” ujar Dicky dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/4/2024).
Dicky mengatakan, di Kementerian Pertanian (Kementan), masih hangat soal Sharul Yasin Limpo (SYL) yang ditetapkan tersangka oleh KPK atas kasus suapnya. Namun, penyidikan juga seharusnya dilakukan secara mendalam. Sebab gurita korupsi di Kementan sudah sangat mengakar.
“Meski SYL sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun kaki tangan, hingga pihak ketiga (PT) yang kerap mendapat jatah proyek di Kementan masih merajalela,” terangnya.
Menurutnya, ada beberapa pengadaan di Kementan yang kerap menjadi bancakan para ASN di kementerian tersebut, semisal pengadaan bibit, pompa air dan tracktor.
“Pesan Presiden Jokowi seringkali mengingatkan soal Swasembada Pangan, namun bagaimana semangat swasembada pangan itu sendiri bisa tidak terwujud, jika Kementan sebagai gerbang utamanya tidak mendukung semangat Presiden, buktinya bukan hanya korupsi soal bibit, hingga pompa air dan tracktor pun diakali oleh ASN Kementan,” cetus Dicky.
Sebagai bukti, Dicky membeberkan pada pembelian traktor roda 4 di Kementan melalui e-katalog LKPP, yang dinilai tidak rasional. Angka Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi, perubahan harga unit, hingga klaim Produk Dalam Negeri (PDN) yang tidak memiliki serial SNI.
“Transaksional antara penyedia barang dan pejabat di Kementan cukup kental. Sebagai contoh pembelian traktor dengan nilai TKDN 48persen. Angka ini dihasilkan darimana? Apakah Kementan sudah mengecek terlebih dahulu ke negara produksi traktor ini?” ungkapnya.
Dicky membocorkan, bahwa berdasarkan investigasi pihaknya, ditemukan sejumlah masalah pembelian traktor pada brand Dongfeng Gatra, Maxxi, Harfia dan Iseki.
Keempat brand tersebut disediakan dari perusahaan yang berbeda, diantaranya Maxxi (PT Corin Mulia Gemilang), Dongfeng Gatra (PT Garda Nusantara Sejahtera), Harfia (PT. Harfia Construction Machinery) dan Iseki (PT Rutan).
“Perusahaan tersebut memiliki TKDN dan harga yang berbeda. Kejanggalan ini, bisa dilihat langsung pada e-katalog dengan kata pencarian traktor 4 roda pertanian semua komoditas. Semua akan terlihat, mulai dari harga, TKDN, hingga jumlah unit yang tersedia,” papar Dicky.
Pada tahun 2023, empat perusahaan tersebut mendapat pembelian unit dari Kementan dengan pesanan yang fantastis. Brand Maxxi dari PT Corin mendapat pesanan sebanyak 211 unit, Dongfeng Gatra dari PT Garda Nusantara sebanyak 197 unit, sisanya 2 PT lain dikisaran angka 170-180an.
“Sebagai perusahaan yang bukan memproduksi traktor, tentunya tidak akan ada unit sebanyak itu. Namun dalam e-katalog ketersediaan bisa mencapai 200 unit. Jika tidak ada pesanan, tidak mungkin perusahaan berani menyediakan unit sebanyak itu, apalagi harganya berkisar dari 260 Juta hingga 430 juta per-unitnya,” pungkas Dicky.
“Tahun 2024, PT Corin Mulia Gemilang mendapat pesanan sebanyak 160 unit dengan harga per-unit sebesar Rp 264 juta. Pembelian yang dilakukan Kementan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu 2 bulan, dengan Brand Maxxi WD 404. Perubahan TKDN pada Brand Maxxi tahun 2023 dan 2024 juga berbeda. Nilai TKDN Brand Maxxi tahun 2023 mencapai 43 persen dan tahun 2024 TKDNnya 48 persen. Pertanyaannya apakah ini betul atau hanya sekedar membayar dengan uang yang lebih untuk mendapatkan nilai TKDN 48 persen, bukan rahasia umum bahwa nilai TKDN bisa dibeli," tambahnya.
Setiap barang pembelian alat pertanian, lanjut Dicky seharusnya dilakukan pengecekan secara menyeluruh oleh Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Mekanisasi Pertanian (BBPSI Mektan), sehingga alat tersebut dapat meberikan manfaat bagi para petani daerah setelah melalui tahap uji.
“Sayangnya, BBPSI Mektan tidak melakukan pengecekan secara detail, apakah unit tersebut memiliki kualitas dari harga yang sangat rendah itu? Apakah sudah mengecek ke Perusahaan penyedia dan produksi? Pengecekan hanya dilakukan berdasar lampiran brosur unit dari perusahaan penyedia,” bebernya.
Dicky berharap, kasus SYL bisa menjadi gerbang para penegak hukum untuk menggunting gurita korupsi di Kementan. Pihaknya juga akan menyurati Presiden Jokowi untuk mengevaluasi Menteri Pertanian agar mengavaluasi perusahaan penyedia traktor atau kebutuhan pertanian lainnya.
“Kami segera surati Presiden, agar upaya dan semangat Presiden tidak sia-sia untuk Swasembada Pangan kedepan. Ini momok besar Kementan yang harus dirapihkan .Kami yakin KPK sdh mengendus hal seperti ini di Kementan. Jika perlu Presiden sendiri yang memberikan catatan hitam ke para perusahaan nakal di Kementan,” tutupnya. (Red)